Menulis Sampai Mati atau Hilang ditelan Bumi
Aku bejalan menuju Perpustakaan. Kubuka pintun pelan Perpustakaan
dengan bangunan kayu, di bawah barongan di ujung selatan bangunan pondok. Sesaat
bangunan ini nampak bukan seperti sebuah Perpustakaan. Akan tetapi lebih pantas
disebut sebagai “gudang buku”.
Di dalamnya terdapat beberapa rak buku, dengan buku-buku yang hampir
tidak terawat. Di ujung utara ada sebuah ruangan kecil tempat tinggal
teman-teman petugas Perpustakaan. Di ujung timur, di pojokan itu aku lantas
mengambil posisi untuk membaca.
Tak ada yang menarik bukunya. Di antara deretan buku itu hampir
semua buku cerita favorit dipinjam oleh teman-teman. Hanya tersisa buku-buku
lama dan deretan buku pelajaran yang sebagian berserakan di lantai.
Tangan usilku mulai beraksi mengacak-acaknya. Satu demi satu buku
kuangkat mencari entahlah aku ga tahu buku apa yang mau kucari.
“inspiring word for writers”
kubaca pelan judul buku itu. Sebuah buku kecil, dengan desain sampul warna biru
dan gambar wajah ustadz Fauzil Adhim.
Buku ini nampak lusuh, tertindih diantara tumpukan buku mata
pelajaran fisika kelas XII. Tapi, entahlah tanganku geli untuk tidak
membukanya.
Dalam buku ini, Bertutur tentang motivasi seorang penulis.
Kata-kata dalam buku ini seolah memberikan secercah ruh menulis dalam diriku
yang sudah sekian lama menghilang. Buku ini yang akhirnya membuatku rajin
keperpustakaan untuk membacanya.
Dari buku ini, tekadku menjadi penulis yang sudah sekian lama menghilang
akhirnya muncul kembali. Aku jatuh cinta pada buku ini dan ingin sekali
memilikinya. dan aku jatuh cinta menjadi penulis gara-gara buku ini.
Namun sayang, setelah aku menemukannya disebuah toko buku beberapa
tahun sesudahnya kantong mahasiswaku rupanya tak cukup untuk memilikinya. Sehingga
aku harus menunggu buku BS dengan diskon 10% dan aku dapat membelinya cukup
dengan Rp 10 ribu rupiah saja.
Itulah awal mula ruh menulis tertanam dalam diriku, meskipun sudah
sejak lama cita-cita menjadi penulis itu tumbuh. Terinspirasi dari para penulis
kece bunda Asma Nadia, bunda Pipiet Senja, bang Gol A Gong dan sederet penulis teenager
lainnya saat aku masih duduk di bangku SMP.
Mereka dengan gaya bahasa yang ringan tanpa bertele-tele
menyampaikan pesan lewat cerita yang mereka tuliskan dalam setiap novel, kumcer,
dan cerita non fiksi mereka. Sehingga apa yang mereka sampaikan sangat mengena
di hatiku. Mereka para pejuang pena dengan segala kelebihannya. Mereka yang
menjadikan tulisan mereka sebagai cambuk untuk terus menaklukkan peliknya
kehidupan dunia ini.
Masih teringat jelas saat kubaca biografi mereka. bunda Asma yang
cerpennya sempat dicap jelek dan tak bermutu oleh guru sekolahnya, bang Gol A Gong
dengan lengan satunya, bunda Pipiet dengan sebuah penyakit yang mengharuskannya
untuk transfusi darah. Mereka dengan segala keterbatasannya, telah membuktikan
pada dunia bahwa kini mereka telah menjadi seorang pembuka cakrawala dunia
lewat karya tulisnya. Merekalah para penebar virus menulis dan para pejuang
pena, perintis FLP (Forum Lingkar Pena) yang telah melahirkan para penulis yang
handal.
Namun aku ternyata tak setangguh mereka. Setiap aku berusaha
menulis selalu me nthok ditengah jalan dan tak pernah jadi. Tulisan-tulisan itu
akhirnya terbengkalai disetiap halaman buku pelajaran-pelajaran sekolah atau
dalam catatan harianku.
Dengan alasan tak ada sarana dan prasarana, aku berhenti menulis
saat SMA. karena saat itu aku tinggal di pondok. Menthok dan tak tahu harus
bagaimana dan dari mana aku harus memulainya. Hingga pada saat aku menginjakkan
bangku kuliah di semester 4 ayah membelikan sebuah netbook baru.
dari situlah semangat menulisku kembali hadir. Aku sering
menuliskan catatan perjalanan yang baru saja aku lalui. Belajar menuangkan ide
dan gagasan dalam rangkaian kata-kata dan mengeditnya.
Buku “Inspiring Word For Writers” sudah ada dan laptop sudah
ditangan, bara semangatku semakin menggebu hingga Allah menemukanku dengan
teman-teman di Bersama Dakwah. Dengan mereka aku banyak belajar sehingga
beberapa tulisanku akhirnya di muat di media online tersebut.
Kian hari, menulis terasa semakin nikmat. Menulis bukan lagi sebuah
hobi melainkan sebuah kebutuhan yang tak terpisahkan dari kata belajar. Membaca
dan menulis dua kebutuhan dasar seorang pembelajar.
Membaca saja tanpa menulis, maka ilmu, ide, dan gagasan itu hanya
akan bertahan di kepala saja tanpa ada yang tahu. Tanpa ada yang
mengabadikannya. Hingga tak tahu sampai kapan ia akan bertahan di kepala kita
ataukah ia akan hilang seiring dengan perkembangan zaman.
Sedangkan menulis saja tanpa membaca, maka gagasan kita akan mandek.
“karena dengan membaca, setidaknya akan menambah kosa kata kita” itu lah yang
dikatakan bunda asma nadia. dengan membaca akan menambah wawasan yang akan
mempertajam tulisan kita.
Menulis setidaknya itu adalah ladang dakwahku. Karena aku bukanlah
orang yang mudah cap cis cus di depan. Bagiku menulis adalah ladang jariyyahku.
karena salah satu amalan yang pahalanya terus mengalir adalah ilmu yang
bermanfaat. Dengan menulis, maka gagasan ilmu yang ada dikepala ini akan dibaca
oleh banyak orang. Setiap mereka yang mendapat kebaikan dari tulisanku, maka
saat itu pula kita akan menuia pahala kebaikan. semakin banyak, maka pahala
akan terus mengalir.
Walaupun aku menyadari menjadi penulis bukanlah profesi yang
menjanjikan. Tak ada yang bisa diaharapkan darinya. Kalau mau kaya atau mau
tenar maka jangan jadi penulis tapi jadilah pengusaha atau artis. Karena,
sekali lagi menulis membutuhkan keihlasan, menulis juga membutuhkan kesungguhan
penulisnya dalam menyampaikan ilmu yang singgah dikepalanya. Sehingga kata-kata
yang dituangkan dalam buku bukan sekedar untaian kata yang meliuk diatas
kertas, akan tetapi meliki ruh yang akan menyihir para pembacanya. Ia akan
menjadi tulisan yang memiliki pengaruh bagi pembacanya. Sehingga mampu mengubah
pola pikir mereka kearah yang lebih baik. Dan mampu memberikan ide-ide segar
bagi siapa saja yang telah membacanya.
Aku sering jalan-jalan ketoko buku, melihat deretan buku yang
berjejer. Beribu judul buku terpampang, novel, cerpen, humor, bahkan
tulisan-tulisan konyol pun turut menghiasai deretan buku tersebut. Namun apakah
kita mengenal penulisnya? Tidak!. Sedangkan materi, dari beberapa buku yang
kubaca, penulis hanya mendapat royalti sekian persen dari laba penjualan buku.
Aaah.. sungguh aku jatuh cinta menjadi penulis. Apapun profesiku
sekarang, guru, pustakawaan ataupun yang lainnya aku tak ingin berhenti
menulis. Menulis sampai mati atau hilang ditelan bumi tanpa menorehkan apa-apa.
Semoga kelak aku bisa menjadi penulis beken seperti bunda Asma
Nadia, bang Gol A Gong, bunda Pipiet Senja, bu Shinta Yudhisia dan sederet
penulis besar lainnya. Yang telah menginspirasiku untuk terus mewujudkan
mimpiku menjadi seorang penulis. aamiin
Komentar
Posting Komentar