Jilbab...
“Kaca,
kaca... dimana kaca???” kataku sambil berputar-putar mencari sebuah kaca
dikamar ukuran 4X4 meter ini. Sementara tanganku masih sibuk memegang sebuah
jilbab warna ungu kesayanganku.
Kupandangi
wajah ovalku. Kulit sawo matang, alis seperti sapu lidi dan hidung pesek ini
mengingatkanku pada sosok tegap yang selalu menasehatiku agar aku selalu
menutup aurot. Ayah!
Kulipat
jilbab paris segi empatku menjadi bentuk segi tiga. Perlahan kutempelkan pada
kepala, menutup seluruh rambut dan leherku. Kuberi peniti hingga rapat dan tak
dapat lepas lagi.
“ternyata,
aku lebih cantik ya kalau aku mengenakan jilbab” kataku dalam hati sembari
tersenyum memandangi kaca.
Aku lalu
memberanikan diri keluar rumah dengan mengenakan jilbab. Beberapa tetangga
langsung memandangku. Tak terkecuali ayah dan kak Shofia yang sedang merapikan
bunga ditaman.
“nah
gitu dong dek, kan lebih anggun kalau pakai jilbab” ledek kak Shofia. Aku hanya
tersipu malu.
“iya
kak... aku.. aku lagi belajar. Aku pengen seperti kakak” kataku sekenanya.
Disambut dua jempol oleh ayah.
**
Memakai
jilbab, bukan urusan muda bagiku. Pertarungan bathin selalu bergejolak. Walaupun
aku tahu kak Shofia sudah sering memberikanku nasehat untuk selalu mengganti
topi kumalku dengan jilbab. Katanya sih aku itu lebih anggun, lebih cantik dan
lebih shalihah kalau aku pake jilbab. Dan yang jelas aku akan lebih dihormati
dan tidak akan diganggu oleh mata-mata liar yang jelalatan.
“lihat
deh dek, 3 cewek itu. Cantik kan?” kata kak Shofi saat kami sedang belanja
dipasar . Tangannya menunjuK 3 cewek cantik yang tengah berjalan melewati
sebuah warung kopi dipinggiran pasar.
Kuperhatikan
3 cewek cantik dengan pakaian mini dan celana pensilnya yang ketetat itu
baik-baik. Kuamati satu persatu. Rambutnya yang terurai melambai kemana-mana,
sementara celananya yang ngepas membuat panggulnya bergerak kesana kemari. Beberapa
mata liar tak berhenti memandanganya.
“suiuit....”
suara siulan mulai terdengar. Sementara tiga cewek tadi masih terus berjalan
megal-megol kesana kemari.
“mau
kemana cantik?” kata-kata jail mulai keluar dari salah satu penghuni warung.
Aku
hanya bengong melihatnya. Tiga cewek tadi terlihat kesal.
“sudah
dek, tuh ceweknya sudah ndak ada” kak Shofia membuyarkan lamunanku. Namun
mataku tak beralih. Seorang perempuan dengan jilbab lebarnya melambai anggun,
dengan perpaduan gamis warna pink tua dan jilbab soft pink berjalan pelan
melewati jalanan yang sama.
“kenapa
semua terdiam. Hanya sesekali terdengar ucapan salam” kataku dalam hati sambil
terus melihat warung kopi yang dipenuhi oleh bapak-bapak.
“Kak
Shofi memang benar, dengan jilbab akan menjaga kehormatan kita, namun meski
begitu jilbab bukan hanya sekedar pakaian kehormatan. Jilbab adalah mahkota
kemuliaan seorang wanita yang perintahnya telah disebutkan dalam al-quran”
Aku
masih terhanyut dalam lamunanku. Menocoba mengingat-ingat kembali nasehat kak Shofi
beberapa pekan lalu.
“dek,
memakai jilbab bukan hanya sekedar melilitkan selembar kain dikepala hingga
leher. Tapi ini juga perlu ditutup” kata kak shofi waktu itu, sambil membenarkan
jilbabku menutup hingga kedada.
**
“aaaah...
kak udah, aku ga mau pake jilbab lagi!” kataku pada kak Shofi.
Kulemparkan
jilbab putihku entah kemana.
“lho
kenapa dek? Bukankah kemaren itu adek sendiri yang pengen memakai jilbab?”
Kak Shofi
menantapku dalam.
“aku
diledekin teman-teman kak. Aku malu!”
“katanya
buat apa pakai jilbab, kalau kelakuannya masih jelek”
“buat
apa pakai jilbab, tapi koruptor, nipu orang, pacaran, pakaiannya seksi”
“jilbab...
jilbab... hanya pakaian munafik yang menyembunyikan kejahatan dibalik
kesalihannya”
Kataku
berapi-api. Kali ini kekesalanku tak dapat dibendung setelah seharian aku
diledekin oleh teman-teman satu kelas. Yang membuatku harus kabur dari sekolah
lantaran ga kuat menahan malu.
Kak Shofi
lalu memelukku erat. Tangisku pecah dalam pelukan kak Shofi. Sesenggukan kak Shofipun
mulai terdengar.
“dek..
tidak semua yang berjilbab itu seperti itu. Kamu lihat kakak kan? Apa kakak
seperti itu?”
Aku
menggeleng pelan.
“kalaupun
ada orang yang seperti itu, maka jangan salahkan jilbabnya. Tapi kembalikan
kepada orangnya”
“karena
jilbab sesungguhnya adalah mahkota kemuliaan seorang wanita yang disertai
dengan pakaian syari bagi pemakaianya. Sehingga tidak menunjukkan lekak-lekuk
tubuh dan jauh dari kata mengundang syahwat atau menarik perhatian laki-laki”
Kami
lalu terdiam sejenak. Isak tangisku masih terdengar.
“setidaknya dengan berjilbab kita sudah
berusaha untuk mengaplikasikan apa yang telah diperintahkan oleh Allah dalam
al-quran. Setidaknya dengan berjilbab kita sudah berusaha untuk menjaga diri,
kehormatan dan harga diri kita sebagai seorang wanita, yang memang mempunyai
kodrat indah dan menarik. Karena sesungguhnya bagian apapun dari tubuh seorang
wanita itu menarik bagi laki-laki dek. Dan itu sudah fitrah seorang wanita” kak
Shofi lalu melanjutkan kata-katanya.
“tidak
ada salahnya kita belajar memakai jilbab sembari memperbaiki diri dan akhlak
kita. Isnyaallah itu lebih baik dek. Karena sesungguhnya memakai jilbab adalah
sebuah pilihan yang lahir dari buah keimanan pemakainya”
Kali
ini kak Shofi menatapku dalam. Belaian tangannya yang lembut memberikan sedikit
kesejukan dalam hatiku. Aku lalu merebahkan tubuhku dalam pelukan jilbab
lebarnya lagi.
“terimah
kasih ya kak...”
“aku
janji, karena Allah aku takkan melepaskan jilbab ini. Apapun yang terjadi!”
Aku
lalu mengambil jilbabku dari tangan kak Shofi dan beranjak kekamar.
Komentar
Posting Komentar