Akhii......




Kakiku melangkah cepat menuju Aula. Segera kuhampiri Feni yang sedari tadi membaca koran. Kulihat wajahnya nampak serius membaca baris demi baris halaman koran yang bertajukkan serangan Israel terhadap Palestina.
“serius amat anti Fen?” sapaku sesampai di Aula.
“sssst! Jangan keras-keras ntar ketahuan mudabbirot (pembina santri-red)”
“emang anti ngapaian sih manggil ana kesini? Tumben aja anti rajin baca Koran, apalagi temanya bertajuk Palestina lagi” ledekku pada anak tomboy yang satu ini.
“eh itu tu, lihat akhi Husein lagi nge ‘iqob santri ikhwan. Keren yaa” kata Feni sambil setengah menunjuk kearah seorang ikhwan berkaos oblong merah dan baju hem putih yang dibiarkan terbuka. Sehingga Nampak jelas kaos oblongnya. “Hmm… cakep juga sih” pikirku.
“maksud anti?” aku mengernyitkan dahiku.
“yaa ana mau nunjukin akhi Husein sama anti. Dia itu tentangganya Humairoh. Anak Pekalongan, keren eiuy” kata Feni lagi, kali ini dia semakin semangat. “Haddeuew! Dasar ne anak, baru juga 3 minggu disini, udah dapat gebetan. Udah gitu gebetannya sekelas akhi Husein lagi. Dia itu kan pengurus ma’had” kataku dalam hati, heran melihat ulah Feni.
“jadi anti manggil ana kesini cuman buat nunjukin ana akhi Husein gitu?” kali ini aku mulai protes pada Feni.
“iya” jawabnya polos.
“aduuuh Feniii! Kayak kurang kerjaan aja! udah ya ukhti shalihah ana permisi dulu. Mau ngantri setrika. Setrikaan ana dah numpuk” kataku ngeloyor pergi meninggalkan Feni sendirian di Aula ma’had yang berada tepat disamping Masjid putra. Maklum ma’had kami satu komplek dengan ma’had putra. Hanya berbatasan rumah Abi Syaiful dan ruang kantor. Sehingga kami bisa leluasa melihat santri putra. Kalau tidak ketahuan sama pengurus ma’had.
***
Aku, Feni, dan Nay memang santri baru tingkat Madrasah Aliyah dikamar Khodijah 5. Kamar seluas 8x6 meter ini dihuni oleh 35 santri mulai dari kelas 1 MTs sampai kelas 3 Madrasah Aliyah. Kecuali kelas 3 yang menjadi pengurus ma’had. Mereka tinggal terpisah dikamar pengurus.
Sudah tiga minggu kami disini dan sejak itulah kami mulia akrab. Kemana-mana selalu bareng. Namun aku sedikit kesal sama Feni, sejak dia tahu tentang akhi Husein dia sering ngomongin akhi Husein. Bukan cuman akhi Husein tapi beberapa ikhwan teman akhi Husein juga ikut jadi bahan curhatannya tiap hari, tiap jam bahkan. “Aduuh! Ni anak kema’had niat tholabul ilmI apa tholabul ikhwan sih” gerutuku suatu saat.
***
Akhi Husein lagi akhi husein lagi! Bosen ana dengarnya. Tahu sih, akhi Husein merupakan salah satu mudabbir fi qismut ta’lim. Selain tampangnya yang keren, akhi Husein juga pinter, santri kesayangan abi Syaiful Kyai ma’had ini, dia juga punya kharisma tersendiri saat mengisi khutbah jumat menggunakan bahasa Arab atau bahasa Inggris.
Tapi meski begitu apa iya, tiap jam aku harus dengerin curhatannya Feni tentang akhi Husein? Apa iya aku harus nongkrong di Aula terus-terusan untuk nemenin Feni lihat akhi Husein? Ogah! Masih banyak hal lain yang kudu aku kerjakan. Hoho “ingat sis…. Kita kesini itu untuk tholabul ‘ilmi. Bukan untuk tholabul ikhwan! So tugas kita adalah belajar dan BE-LA-JAR!”
***
Lama-lama aku jadi jenuh sama Feni. Hafalan mahfudlot dari ustadz Agus belum selesai eh dia nongol cerita tentang akhi Husein lagi.
“eh Syif, aku tadi lihat akhi Husein sedang jalan kearah maidan, cakep banget. Pake kaos cream dengan sarung kotak-kotak yang mirip punya kamu itu. Keren deh” katanya suatu saat.
“aduuh feni, please deh! Uridu an ahfadz haadzad darsa. Wajadtu wajibatul manzil min ustadz Agus, fahimti?” saking kesalnya sama Feni aku sampai berkata seperti itu sama dia. Baru kali ini aku marah. Entahlah! Sepertinya aku harus menjauhi dia. Kalau ngga, targetku hafalanku kali ini bisa gagal gara-gara tiap mau ngafal di curhatin tentang akhi Husein sama Feni.
**
Huuu… Keseringan diajakin ngomongin akhi Husein sama Feni, lama-lama aku mulai risau dengan persaanku sendiri. Ada yang lain, ada yang aneh, dan membuatku gelisah. Tiap kali sholat di Aula aku selalu berada dibaris paling depan. Berharap bisa melihat akhi Husein, karena biasanya dia dibaris paling akhir untuk memantau santri. Niat keaula untuk sholat jama’ah dan menghafal jadi kacau, terkontaminasi oleh keinginan untuk dapat melihat akhi husein. Walau hanya sepintas. Karena hanya dengan cara ini, aku bisa melihatnya.
Sampai akhirnya rasa kehilangan sosok itu mulai ada. Karena sebentar lagi UAN kelas 3 Madrasah Aliyah akan berlangsung, itu artinya sebentar lagi akhi Husein akan meninggalkan ma’had. Aah, kenapa dia harus pergi, orang sebaik dia, santri kesayangan abi Syaiful sebentar lagi akan meninggalkan ma’had dan melanjutkan studi entah kemana.
“Fen!” kataku mengagetkan Feni yang tengah asyik mengerjakan tugas kesenian dari ustadz Farid. Setelah agak jarang bersama Feni, aku mulai mengajaknya bareng lagi. Alhamdulillah, dia sudah jarang ngomongin akhi Husein. Gara-garanya kemaren dia habis ketahuan sengaja berlama-lama duduk di Aula untuk melihat akhi Husein yang tengah bercanda di Masjid dengan akhi Rizal. Jadi deh dia di ‘iqob bersihin kamar mandi oleh mudabbiroh.
maadzaa Syifa qobiiiiikh” sahutnya, dibalikkan tubuhnya kearahku.
“kok ana jadi gelisah gini ya?” kali ini aku yang mulai curhat sama dia.
limaadzaa Fa? Tumben. Biasanya kamu kan paling ceria. Suka tertawa bahagia… hahaha” kata Feni sambil menirukan gaya tertawaku.
“iiih”cubitku padanya. Gemez! Feni kesakitan, lalu mengelus-elus pipi tembemnya.
“emang ada apa to? Aduh sakit ne!”
Aku terdiam. Sepi. Dikamar ini hanya ada kita berdua.
Ana akhoof idzaa akhi Husein satatakhorroj min haadzal ma’had” lanjutku memecah kebisuan diantara kami.
madzaa? Anti tukhibbiina ma’a akhi husein? Ga salah dengar ana Syif?” Feni mendekatkan telinganya kewajahku, pura-pura ga dengar.
“engg, engga kok… ngga suu…” kataku gugup.
“iya, ngga salah kok. Hahaha” tawa Feni membuat kamar ini ramai. Beberapa santri yang sedang sakit dikamar sebelah sampai nengok kekamar kami. Maklum atap kamar ini tak ada plavonnya sehingga begitu ngomong suara terdengar nyaring. Apa lagi tertawa keras. Upz!
“huahahaha… Syifa,,, Syifa” Feni tertawa terbahak-bahak lagi “anti sama akhi Husein tu, bagai punuk merindukan rembulan” lanjutnya.
“ssst! Jangan keras-keras donk. Ntar kedengaran kamar sebelah tahu. Kan malu!”
maadzaa? Karririi maadzaa qulti aanifan!” aku masih ga ngerti dengan maksud Feni tadi.
“kamu sama akhi Husein itu bagai punuk merindukan rembulan” diulanginya kata itu. Aku mulai sedikit mengerti.
well? Punuk merindukan rembulan? Keterlaluan ne anak!!” kataku dalam hati ga terima dengan apa yang dai katakannya.
“enak aja !!! ga ada yang msutahil jika Allah berkehendak!!!” kataku ga terima dengan ledekan Feni dan meningggalkan anak itu sendirian dikamar yang sepi. Sepi karena ini jam sekolah, sedang ustadz Farid mengizinkan kelas kami untuk mengerjakan tugas dari beliau di Kamar.
***
Hari-hari ini aku mulai sering nongkrong disamping kamar, atau di Aula ma’had. Pura-puranya sih baca Koran, padahal mata ngelirik kearah Masjid putra yang pas didepan Aula putri. Mencari sosok ikhwan berkulit putih yang sering meng’iqob santri putra, sosok ikhwan yang sering memberi taujih anak-anak putra. Aah, akhi Husein, lama-lama sosokmu begitu melekat dihatiku.
“Syifa, lagi ngapain disana dek?” Tanya mbak Nana, teman seklas akhi Husein. Ya, tak seperti dima’had lain, ma’had kami ikhwan akhwat masih dicampur dalam satu kelas. Jadi wajar kalau mbak Nana juga kenal sama akhi Husein. Lagian siapa sih yang ga kenal akhi Husein. Santri kesayangan abi Syaiful.
“eh mbak, ngga mbk. Lagi baca Koran aja” jawabku gugup
“lho kok arah matanya kesana?” kata mbak Nana sambil melirik kearah seorang ikhwan yang sedang di ‘iqob sama mudabbir.
“eh iya mbk. Tadi pengen lihat ikhwan yang sedang dihukum aja mbk. Lucu hehe”
Duuh, malunya ketahuan mbak Nana. Untung aja ga dilaporin sama mudabbirah. Bisa kena hukuman lagi. “Udah cukup hukuman dari qismul lughoh sama qismut talim kemaren jangan ditambahi lagi dengan qismul amn”. Kataku dalam hati sambil beranjak pergi meninggalkan Aula.
***
Semakin hari semakin resah. Detik detik menjelang kelulusan kelas tiga sudah mulai terasa. Pengumuman UAN sudah usai. Seluruh kelas 3 Aliyah sudah mulai pulang dan angkut-angkut barang. Tak terkecuali akhi Husein. Meski katanya rumahnya dekat dari ma’had, namun akhir-akhir ini sudah jarang kulihat lagi sosoknya. Sosok yang selalu membuatku kagum.
Entahlah apakah ini hanya perasaan takut kehilangan ataukah ini yang dinamakan rasa kagum berlebihan, ngefans? Ataukah ini yang dinamakan cinta? Aaah, yang jelas aku takut kehilangan sosoknya dari ma’had.
“duuuh, sedihnya yang mau ditinggal akhi Husein pulang” ledek Feni suatu saat. Aku cuman manyun dan sedikit gondok karena kesal.
anti tuh ya, udah tahu orang lagi sedih malah diledekin terus!” kataku kesal.
“iya, iya nanti tak mintakan no telponnya sama Humairoh” hiburnya yang membuatku langsung tesenyum manis.
“huuuh, dasar! Kalau ada maunya aja baru sok manis”.
“Padahal dulu yang suka sama akhi Husein kan ana. Kok malah sekarang anti sih yang sedih gini?” lanjutnya.
“hehe, anti sih ceritanya ke ana terus. Sekarang jadi ana yang suka sama akhi Husein” kataku nyengir.
***
Hari ini katanya semua siswa kelas tiga akan pulang. Kabarnya akhi Husein juga. Aku kelimpungan. Berharap aku bisa melihat sosoknya sebelum ia benar-benar pergi meniggalkan ma’had. Aku berharap bisa mengucapkan salam perpisahan untuknya. Meski ia tak pernah mengenalku. “Tapi kuyakin suatu saat kita akan berjumpa. Jika memang jodoh Allah pasti mempertemukan kita.” Kataku mencoba menenangkan diri, menahan air mata yang hampir jatuh.
“Syifaaaaaa….” Seru Tia membuyarkan lamunanku.
“apa Tia? Napa mesti teriak-teriak sih” kataku sebel.
anti udah ditunggu sama ustadzah Shofi tu” kata Tia sambil melirik kearah ustadzah Shofi dan teman-teman yang tengah duduk melingkar dipojok Aula depan rumah abi Syaiful. Aku cuman mengernyitkan dahiku. Teringat kalau sore ini jatahnya mentoring sama ustadzah Shofi.
Segera kulangkahkan kakiku kearah mereka yang tengah menungguku dari tadi. Ada sedikit rasa malu, ternyata dari tadi mereka memperhatikanku melamun. Ya, melamunin siapa lagi kalau bukan akhi Husein. Hehe.
“Syifa? Kenapa tadi melamun disana ukhti?” Tanya ustadzah Shofi
“eh ngga kok ust. ‘afwan ya ust. Tadi ana lupa kalau ada mentoring” kataku gugup. Ustadzah Shofi lalu mengwali mentoring kali ini dengan cerita tentang proses ta’aruf beliau dengan ustadz Yudi. Beliau lalu memberikan materi kepada kami tentang “cinta”. Ya materi yang pas banget dengan Susana hatiku.
akhwati yang dirahmati Allah, adek-adekku yang aku cintai karena Allah, tak ada cinta yang haqiqi kecuali cinta Allah kepada hambanya. Selain dari itu, semuanya cinta semu”
“karena cinta Allah kapada hamba-Nya itu akan berlanjut sampai keakhirat nanti. Sedang cinta manusia? Hanya sebatas dunia saja. Setelah meninggal maka cintanya akan berakhir sesuai dengan usianya” kata ustadzah shofi dengan suaranya yang lembut. Yang membuatku tak lepas dari menatap wajahnya.
“dan jangan sampai cinta kita kepada manusia melebihi cinta kita pada Allah. Cinta Allah harus diatas segala-galanya setelah itu cinta kepada Rasulullah dan kepada kedua orang tua kita”
“oleh karenanya cintailah seorang itu karena Allah. Kita mencintai karena Allah, memberi karena Allah dan membenci karena Allah. Cintailah seseorang itu sekedarnya saja, karena suatu saat kalian pasti akan berpisah dengannya”
“hayoo siapa disini yang sedang jatuh cinta?” Tanya ustadzah Shofi tiba-tiba.
Semua mata langsung tertuju kepadaku. “lho kok pada ngelirik ana sih?” protesku ga terimah.
“hmm, ceritanya ada yang sedang berduka ni ustadzah” celetuk Tia.
“iya ni ustadzah, ada yang sedang berduka karena ditinggal akhi Husein pulang” lanjut Arin. Ustadzah cuman senyum melihatku yang salah tingkah. Seketika raut mukaku berubah mendung. Teringat akhi Husein lagi. Sampai mentoring usai. Raut wajahku tak berubah.
“Syifa” panggil ustadzah Shofi beberapa saat setelah aku pamit kepada beliau.
“iya ustadzah” kupalingkan wajahku.
“kamu disini dulu ya dek. Ada yang ingin ustadzah sampaikan sama kamu” kata ustadzah lagi.
“iya ustadzah
Aku lalu mengambil posisi duduk tepat disamping beliau setelah semua pergi. Kutundukkan wajahku. Aku tahu kenapa beliau memanggilku. Aku tahu, ini pasti karena perasaanku sama a..khi Hu..sein…
“udah ga usah nangis gitu sayang” ustadzah Shofi mengangkat daguku. Ditatapnya mataku dalam-dalam. “dek, ustadzah tahu, Sekarang Syifa sedang sedih lantaran akhi Husein akan pergi. Tapi coba deh Syifa pikir, siapa akhi Husein itu?” lanjut ustadzah. Aku cuman diam mendengarkan nasehat beliau. “dia cuman santri biasa sama seperti yang lain. Dan dia juga bukan siapa-siapanya dek Syifa”. Tangisku mulai pecah. Jilbabku mulai basah oleh air mata yang tak dapat kutahan.
“dek, cintailah seseorang itu sewajarnya saja. Jangan berlebihan. Karena suatu saat kalian akan berpisah”
“lagian apakah wajar jikalau seorang akhwat seperti Syifa mencintai seorang ikhwan seperti akhi Husein?”
Aku menggeleng.
“dek simpanlah rasa cintamu ini untuk suamimu nanti. Toh kalau kalian memang jodoh, Allah pasti akan mempertemukan kalian” kata ustadzah Shofi lembut. Beliau lalu mempersilahkanku untuk kekamar.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bintang dan Langit

Engkaulah Murobbiku

Jilbab...