Merangkai Asa dalam Sebuah Kompitisi
Kulihat garis wajah yang semakin menua.
Kuamati dalam-dalam wajah beliau dalam memori ingatanku. gurat-gurat
dikeningnya semakin memperjelas wajah keriputnya. Rambut putih menghiasi hampir
seluruh bagian kepalanya. Jiwa muda yang dulu yang energik, perlahan menua.
Kini, 15 tahun telah berlalu sejak
wisudah akhirus sanah dilaksanakan. Namun kulihat semangat beliau untuk
menciptakan generasi yang berakhlak mulia tak pernah pudar. Beliau tetaplah
guruku yang mengajar ditempat ketika aku belajar memebaca dan menulis dibangku
S
ekolah Dasar dahulu.
Mungkin dulu aku hanyalah gadis kecil
yang tak mengerti apapun. Namun goresan tinta beliau dalam memori ingatanku
telah menjadikanku sanggup berdiri didepan kelas. Memberikan secercah pengetahuan
kepada murid-muridku. Karena kini aku telah menjadi seorang guru!
Yaaah, seorang guru seperti beliau
yang telah mengajarkanku akan arti sebuah kehidupan. Bahwa roda kehidupan akan
terus berputar.Waktu akan terus berjalan, silih berganti menempati ruang. Kalaulah
dulu aku yang duduk manis dibangku itu, mendengarkan dengan saksama apa yang
beliau sampaikan. Namun kini giliran anak-anak beliau yang mengisi bangku itu.
Tak ada hal yang menarik dari sebuah
profesi seorang guru! terutama buat
orang tipe sepertiku. Yang lebih suka bermain dibalik layar, tanpa banyak kata atau menjelaskan ini itu kepada orang lain. Sehingga menjadi guru seoalah momok
buatku karena aku harus bisa ngomong didepan umum. Suatu hal yang sangat aku
benci! benci sekali!
Didepan anak anak aku dituntut untuk
menjadi pribadi yang paripurna. Pribadi yang tanpa cacat bak malaikat. Karena
segala tindak tandukku akan dicontoh oleh mereka. Bersama mereka aku dituntut
untuk serba bisa karena mereka menganggap bahwa guru itu bisa segalanya.
Sangat menyakitkan manakala mereka
menjadikan celaku sebagai alibi atas kesalahan yang sengaja mereka lakukan. Menyakitkan
sekali tatkala ekspresi ketidaksukaan mereka ungkapkan kepadaku bahkan didepan
umum. Ooh.... Bapak ibu guruku... Mungkin inilah yang engkau rasakan manakala
mengajarku dahulu...
Kesalahan-kesalahan yang dulu pernah
aku lakukan kini terjadi pada anak didikku. Sehingga mengharuskanku untuk
belajar sabar yang luas dan tanpa batas. Mengatur berbagai strategi agar anak
didikku mampu menerima pelajaran yang aku ajarkan. Sehingga aku mulai memahami,
bahwa menjadi guru bukanlah sebuah profesi pilihan. Akan tetapi lebih kepada sebuah
pengabdian dan rasa syukur akan ilmu yang sudah diperoleh.
Dengan menjadi guru, maka aku akan
terus belajar. Membuka catatan lama, membuka berbagai referensi agar bisa
berbagi inspirasi bagi anak didikku.
“ayo nak, lari” pintaku pada mereka
pada saat jam pelajaran olah raga.
Enggan, malas, itu yang kulihat.
Namun disisi lain kulihat beberapa anak berlari dengan gesitnya. Bahkan
melebihi kecepatanku. Kusunggingkan senyum tipisku “yaaaah... ustadzah kalah
niiih” sambil menambah kecepatan lari.
Berlomba dan adu kecepatan berlari
dalam mata pelajaran PJOK itu sungguh sangat menyenangkan. Atau berlomba
kreatifitas karya seni dalam mata pelajaran SBK yang membuatku begadang itu
sangat mengharukan. Dan juga adu kecepatan hafalan bersama kelompok tahfidz itu
sangat luar biasa bagiku. Mengingat usiaku yang tak lagi muda seperti mereka.
Meskipun dalam beberapa hal aku
sering kalah oleh mereka. Tetapi merekalah pemacu semangatku untuk terus
belajar dan menggapai semua impianku. Mereka wajah-wajah tak berdosa, masa
depan mereka masih panjang. Mau jadi apapun mereka, masih bisa untuk
diwujudkan.
“iya, coba kalian rancang sejak
sekarang”
“jangan sampai menyesal seperti
ustadzah. Walaupun tak hal ada yang mungkin”
kataku disela-sela halaqoh tahfidz.
“emang cita-cita ustadzah jadi apa?”
tanya salah satu diantara mereka.
“jadi guru, penulis dan pelukis”
jawabku sekenanya sambil mengingat sebuah cita-cita yang tertulis dalam album
kenangan SMP ku.
Sebongkah motivasi seolah
menghantamku. Menerjang diantara sejuta penghalang yang bersarang didalam
kalbuku. Entah apa yang aku pikirkan. Bersama mereka aku sharingkan banyak hal.
Membuatku merasa bahwa segudang harapan akan selalu ada untukku.
Bersama mereka aku seolah berpacu
dengan waktu. Bahwa tak ada kata terlambat, justru kini saatnya aku membuktikan
pada dunia bahwa aku akan mewujudkan mimpi-mimpiku. Bersama mereka, aku
berlomba meskipun seolah tak seimbang. Bersama mereka, aku akan terus belajar
dan belajar. Mempelajari banyak hal yang tidak aku dapatkan dalam mata pelaran
sekolah ataupun SKS mata kuliahku.
Bersama mereka aku belajar menjadi
seorang pembelajar sejati. Sehingga aku bisa menjalankan sabda Rasulullah... uthlubul
‘ilma minal lahdi ila lahdi... Tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang
lahat...
waallahu a’lam bish-showab...
“Artikel ini diikutkan dalam lomba menulis Guraru untuk Bulan Pendidikan berhadiah Acer One 10”
Komentar
Posting Komentar